Hanya Tuhan Yang Berhak Menilai

Suatu hari saya berlibur ke Yogyakarta untuk liburan bersama keluarga. Dalam perjalanan itu kami memutuskan untuk mampir ke salah satu pembuat batik yang cukup terkenal. Setelah sampai saya melihat-lihat kain yang ada, saya tertarik ke satu kain yang menurut keluarga saya kain itu biasa saja. Namun ketika saya menanyakan kepada sang penjual, ternyata kain batik itu adalah kain batik tulis yang diproses dengan cara yang cukup rumit dan panjang.
“Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia” ( Lukas 15:28 )
Ketika membaca kisah ini kita pasti langsung tahu, bahwa ini adalah cerita tentang seorang anak yang menuntut warisan kepada ayahnya, menghabiskannya dengan berfoya-foya dan kembali ke ayahnya lagi setelah semua hartanya habis. Biasanya kita segera berpikir bahwa si anak bungsulah yang tidak tahu malu, setelah harta bagiannya habis masih saja dia berani pulang ke rumah bapanya.
Namun bagaimana dengan si sulung? Mengapa ia marah? Bukankah wajar memang kalau dia marah? Mari kita perhatikan dengan seksama, meskipun si sulung hidup berkecukupan bersama dengan bapanya, ternyata ia tak cukup bersyukur dengan apa yang ada. Atau mungkin si sulung lupa terhadap kehadiran sang bapa karena hidupnya sudah tercukupi. Mari kita merenung, sudahkah kita bersyukur atas berkat dan pemeliharaan Tuhan dalam hidup kita? Ataukah kita masih terus merasa kurang dan membandingkan hidup kita dengan orang yang lain?
Leave a Reply